Thursday, March 31, 2011

Pelajaran Dan Mengambil Pelajaran


  1. Pelajaran adalah pemberi peringatan dan penasihat.
  2. Bukanlah tawakal yang baik bahwa seseorang memohon ampun (akan kesalahannya), kemudian dia melakukan kesalahan itu untuk yang kedua kalinya.
  3. Mengambil pelajaran membawa kepada kesadaran.
  4. Alangkah banyaknya contoh (peringatan), tetapi sedikit sekali yang menjadikannya sebagai pelajaran.
  5. Di dalam pelajaran terdapat kecukupan yang tidak memerlukan lagi ikhtiar.
Pertimbangan dan Kelurusan Pendapat
  1. Buah dari kelalaian adalah penyesalan, dan buah dari pertimbangan adalah keselamatan.
  2. Pertimbangan adalah kecerdasan, dan adab adalah kepemimpinan.
  3. Pertimbangan adalah kewaspadaan.
  4. Orang yang paling bijaksana adalah orang yang kesungguhannya dapat menguasai sendaguraunya, pikirannya mengalahkan hawa nafsunya, perbuatannya menyuarakan hati nuraninya, keridhaannya tidak memperdayakan keberuntungannya, dan tidak pula kemarahannya dari tipu dayanya.
  5. Ada kalanya perkataan lebih dituruti daripada kekerasan. Sesungguhnya bagi kebaikan dan keburukan ada pemiliknya (pelakunya). Maka, bagaimanapun kalian meninggalkan di antara keduanya, ada orang lain yang akan mengerjakannya.
  6. Persiapan sebelum memulai perbuatan akan menyelamatkanmu dari penyesalan.
  7. Tidak ada akal yang seperti pertimbangan.
  8. Tidak ada harta bagi orang yang tidak ada manajemen baginya.
Alasan
  1. Jauhilah olehmu banyaknya mengemukakan alasan karena sesungguhnya dusta sering bercampur dengan alasan.
  2. Orang yang berdalih tanpa suatu dosa mengharuskan pada dirinya dosa.
  3. Orang yang berdalih menginginkan kemenangan.
  4. Jauhilah apa yang engkau berdalih darinya. Janganlah engkau sombong ketika engkau berada dalam kenikmatan (kaya), dan janganlah pula engkau hilang semangat ketika dalam kemiskinan.
  5. Tidak butuh pada alasan Iebih mulia daripada benar dalam alasannya itu.
  6. Jauhilah olehmu untuk mengemukakan alasan akan suatu dosa, sementara engkau menemukanjalan untuk meninggalkannya. Sebab, sebaik-baik keadaanmu dalam mengemukakan alasan adalah engkau mencapai kedudukan selamat dan dosa-dosa.
  7. Mengulangi mengemukakan alasan adalah pengingatan akan suatu dosa.
  8. Jauhilah olehmu posisi mengemukakan alasan. Sebab, ada kalanya alasan justru menetapkan kesalahan terhadap orang yang berdalih itu, meskipun dia bersih dari dosa itu
--Sayidina Ali KWH---


Bersama Sang Kekasih


Syeikh Ahmad ar-Rifa'y
Rasulullah Saw, bersabda: "Seseorang bersama orang yang dicintai." (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits mulia ini ada disiplin cinta dari para pecinta Allah swt, dan pecinta Rasulullah saw, yang didalamnya tersembunyi missi bagi kaum yang yaqin kepada Allah swt, dan petunjuk bagi orang yang taqwa, serta cahaya bagi orang-orang ma’rifat.

Siapa yang merenungkan rahasia “kesertaan” bersama Allah swt, berarti paling fasih mengungkapkan hadits ini, melainkan senantiasa karena cintanya kepada Allah swt, dan mencintai orang yang dicintai Allah swt, dan mencintai Allah swt.
Begitu juga kaum arifin – semoga ridho Allah swt, mencurah pada mereka – , dan siapakah arifin itu? Mereka adalah kaum yang bercahaya hatinya, yang senantiasa memiliki kebejingan batin, dan tonggak dalam qalbunya.
Anak-anak sekalian!
Sesungguhnya Allah swt, menyebutkan secara tegas dalam kitabNya, bagi para hamba-hambaNya: Perintah dan laranganNya, janji dan ancamanNya, kabar gembira dan dan kabar peringatan, qodho’ dan qodarNya, hokum dan aturanNya, kehendakNya pada makhlukNya, dan sejumlah contoh-contoh dariNya, penyebutan panji-panji dan  nikmatNya, kelembutan dibalik ciptaanNya, keparipurnaan kuasaNya dan keagungan RububiyahNya, lalu Allah swt, berfirman:
“Sesungguhnya dalam hal itu semua adanya peringatan bagi orang yang mempunyai qalbu.”

Allah swt, mempersaksikan ayat ini kepada semua hambaNya, palagi bagi mereka yang memiliki qalbunya akan meraih Allah swt, memuliakannya, sekaligus menjelaskan bahwa mereka memiliki derajat yang lebih disbanding yang lain.
Sebagian para mufassir berkata, mengenai tafsir ayat tersebut:
“Bagi mereka yang memiliki qalbu.” Yakni qalbu yang sangat percaya terhadap apa yang telah disebutkan oleh Allah swt, dalam kitabNya, baik dalam soal janji maupun ancaman dan lain sebagainya.”
Artinya bagi mereka yang berakal sehat.” Lalu dengan akal sehatnya ia bias mencegah diri dari kesesatan dan penyimpangan dalam berbagai kondisi dan situasi.
“Bagi yang memiliki rasa hati, yang dengan rasa hati itu ia lari dari kemusyrikan dan keragu-raguan.”
“Bagi yang  yang memilki rasa yaqin, dimana seluruh tipudaya gugur karenanya, hingga sampai pada Diraja Yang Maha Ampun,” kata seorang mufasir lain.
“Bagi orang yang memiliki rahasia batin,  sehingga sifat ubudiyahnya tersirnakan oleh sifat RububiyahNya, ketika musyahadah pada Allah swt,”.
“Bagi orang yang memilki rahasia batin yang istiqomah bersama Allah swt, tanpa sedikit pun berpaling dariNya untuk selainNya..”
“Bagi yang punya qalbu yang tersendiri karena penunggalan Yang Maha Tunggal.”

Sebenarnya Allah swt, merias hati kaum airifin dengan ma’rifat, dalam rangka memberikan kemuliaan dan anugerah. Sedangkan bagi kaum penempuh, dihiasi dengan memandang Kebesaran dan KharismaNya, sebagai bentuk rahmat dan kebajikanNya.
Allah swt, menghijab hati orang yang alpa dengan kebodohan dan kelalaian, sebagai bencana dan penghinaan. Allah swt, mencetak qalbu orang kafir dengan penjauhan dan pengingkaran, sebagai penolakan dan penghalangan.

Qalbu Makhluk
Qalbu makhluk itu ada tiga:
1. Qalbu yang terbang di seputar dunia dengan syahwat-syahwatnya.
2. Qalbu yang terbang di akhirat dengan anuegrah kemuliaan.
3. Qalbu yang terbang di Sidrotil Muntaha dengan kemesraan dan munajat.

Berarti ada qalbu yang bergantung pada dunia, ada qalbu yang bergangtung pada akhirat dan ada qalbu yang bergantung kepada Allah swt.

Qalbu yang terbakar
Qalbu yang tenggelam
Qalbu yang terhanguskan.
Ada qalbu yang menunggu anugerah.
Ada qalbu yang menunggu RidhoNya,
Ada qalbu yang menunggu bertemu denganNya.

Ada qalbu yang terlapangkan.
Ada qal;bu yang terlukai.
Ada qalbu yang terlempar.

Qalbun Munib adalah qalbu Nabi Adam as.
Qalbun Salim adalah qalbu Nabi Ibrahim as.
Qalbun Munir adalah qalbu Nabi Muhammad saw.






Janganlah Putus Istiqamah Walaupun Kamu Banyak Berdosa


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Manakala anda terjerumus dalam dosa, janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa dalam meraih
Istiqomahmu dengan Tuhanmu. Kadang-kadang, – siapa tahu – itulah akhir dosa yang ditakdirkan oleh Allah padamu.”

Jadikan keterjerumusan itu sebagai pintu taubat dan inabah demi beharap kepada Allah Ta’ala, sekaligus sebagai pintu khauf (rasa takut) kepadaNya. Sebab putus asa terhadap rahmat Allah itu bentuk tipudaya yang gelap, bahkan syetan harus berputus asa karena tidak mampu memperdayai anda dibalik tindakan dosa itu.
Imam Al-Ghazaly ra, menegaskan, “Sebagaimana dosa merebut anda, dan kembali kepada dosa sebagai aktivitas anda, maka jadikanlah taubat dan kembali kepadaNya sebagai aktivitas. Karena orang yang beristighfar tidak akan mengulang-ulang dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh kali setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun, yang dosanya benar-benar memuncak dan paling besar, toh Allah Ta’ala masih  memerintahkan kepada Nabi Musa as dan Nabi Harun as,  “Katakan padanya dengan kata-kata yang lembut, siapa tahu ia bisa tersadarkan atau ia memiliki rasa gentar dan takut (Kepada Allah Swt).” (Thaha 44)
Betapa banyak orang yang kembali bertobat dan menjadi Istiqomah gara-gara perbuatan dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang yang akhirnya malah maksiat gara-gara ibadahnya, dimana ia bangga dengan prestasi amal ibadah, lalu takjub pada diri sendiri, kemudian riya’ dan takabur.
Optimisme pada rahmat dan anugerah Allah Ta’ala harus menjadi titik utama ke depan. Karena bila manusia bertaubat dengan taubatan Nasuha, malah seluruh dosanya diampuni.
Tetapi jangan sampai manusia meremehkan perbuatan dosa dengan beralibi, “Allah Maha Ampun, atau ampunan Allah lebih besar dibanding dosanya, atau apa artinya dosaku kalau dibanding rahmat Allah….” dst. Yang menggiring seseorang terbelit dosa terus menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan kita agar kita tidak putus asa pada RahmatNya, bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali pun.
Allah Swt, justru menghampiri kepada para pendosa agar kembali kepadaNya, karena dibalik “kembali” itu ada “cinta” yang begitu agung dariNya. Cinta itu sangat luhur dan besar nilainya disbanding apa pun. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat.” Begitu ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan, “Tanda-tanda manusia bergantung dan mengandalkan amalnya, adalah kehilangan harapan (terhadap rahmat Allah) ketika berbuat dosa.”
Rasa kehilangan akan harapan ampunan dan rahmat adalah bentuk pesimisme yang berbahaya, karena pada saat yang sama seseorang tidak menggantungkan diri pada Sang Pencipta Amal, malah menggantungkan pada amal itu sendiri yang diklaim sebagai perbuatannya.
Padahal amal baik tidak menjamin seseorang masuk syurga, dan amal buruk tidak otomatis seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka itu semata karena keadilan Allah, dan masuk syurga karena rahmat dan ridhoNya.
Bila anda meraih rahmat dan ridhoNya, maka taat dan kepatuhan anda sebagai tanda  memang anda ditakdirkan masuk syurga. Sedangkan bagi mereka yang mendapat keadilan Allah Swt, (na’udzubillahi min dzaalik) seseorang ditandai dengan berbuat maksiat dan menuruti nafsunya belaka di dunia.


Respon Psikologis Terhadap Pujian

[B]Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary[/B]

"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka sedih, karena melihat pujian itu datangnya dari makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif billah ketika dipuji mereka bersukacita, sebab pujian itu hakikatnya dari Allah Sang Maha Diraja."

Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk itu dari segi wujud pemberlakukan Allah Swt. pada mereka. Karena itulah sang arif senantiasa melihat makhluk sebagai “pena”-nya Allah Ta’ala. Maka bila mereka dipuji, mereka bersukacita karena yang dipandang adalah pujian Allah bukan pujian makhluk, lalu semakin bertambah kuat kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram kepadaNya dan tetap lari dari segala hal selain Dia.

Selain sang arif memandang pujian datang dari makhluk itu sendiri, lalu ia menerima dan menolak merutut persepktif kemakhlukan.  Pujian bila muncul, ia senang dan bila yang muncul cacian ia sedih, maka disitulah pujian menjadi bentuk penyembelihan atas dirinya. Bila ia tergolong orang yang zuhud, ia membenci pujian itu dan lebih senang dicaci. Karena sang zahid masih juga emmandang itu dari makghluk, dank arena kezuhudannya, ia takut jika pujian meracuni hatinya. Hal ini tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang mematikan).”

Beliau juga memperingatkan orang yang memuji,
“Kalian memenggal leher sahabatmu?”

Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw., “Bila Allah mencintai seorang hamba maka Jibril diundang, dan berfirman, “Aku mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan!”. Ahli langit pun  mencintai si Fulan itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”

Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah anda.”

Hikmah di atas masih berkait denganm deretan perilaku murid ketika merespon pemberian, sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan, menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah sangat minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses, ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang berbentuk pujian ada pula yang cacian.

Abu Utsman al-Hiiry menegaskan, “Seseorang belum disebut sempurna manakala empat hal ini belum sama di hatinya: Dalam soal kegagagalan, dalam soal pemberian/sukses, soal kemuliaan dan  soal hinaan.”

Banyak orang yang mengukur pemberian dan anugerah dari bentuk nyata benda, materi, nama besar, popularitas, dan massa pendukung. Seakan-akan jika ia meraih semua itu, ia telah mendapatkan restu dari Allah Swt. Sebaliknya yang gagal, kalah, tak meraih kesuksesan materi dianggap tidak meraih ridhoNya. Inilah salah kaprah yang berkembang di kalangan ummat yang harus diluruskan.

Menyikapi Pujian Makhluk


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary : “Semesta ciptaan ini ada karena ketetapan dariNya, dan terhapus oleh Kemaha-Esaan DzatNya.”
Syeikh Zarruq mengatakan, “Bila anda memandang makhluk dari dimensi penetapan oleh Allah Ta’ala pada mereka, maka anda melihat makhluk sebagai wujud.
Namun bila anda melihat mereka dari segi bahwa mereka adalah makhluk yang sangat butuh, sangat kurang dan tidak merdeka, maka anda telah memandang mereka sebagai wujud ketiadaan.
Dalam kitabnya At-Tanwir, Ibnu Athaillah menegaskan, “Ulasan yang rinci dalam konteks ini adalah, bahwa makhluk itu memang ada, dan dari segi yang tersembunyi dibalik makhluk menimbulkan musyahadah kepadaNya. Kemudian Allah swt menetapkan makhluk dari sisi yang ditetapkanNya melalui hikmah-hikmahNya, dan hikmah-hikmah itu tidak bersandar pada pengetahuan anda.”

Inilah fakta yang dimaksudkan sekaligus intisari ma’rifat dalam menjaga kenyataan dunia sebab akibat. Dan hanya  pada Allah segala Taufiq.

Ini berarti, akan mengarahkan kita pada etika atau adab memandang makhluk, bahwa apa pun, harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala. 

Dan ketika memandang diri kita, pasti yang tampak adalah wujud serba cacat, kurang dan penuh cela.
Sehingga Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Manusia memuji anda karena asumsi dugaan yang ada pada diri anda. Maka bersikaplah mencaci diri sendiri, karena anda tahu siapa diri anda sebenarnya.”

Manusia sangat senang dipuja dan dipuji. Ini sangat berbahaya. Karena itu jika anda dipuji, malah sebaliknya anda harus mencaci diri sendiri, karena dalam diri anda tak lebih dari wujud cacat serba kurang dan buruk. Jadi memang tidak layak untuk dipuji dengan berbagai alasan apa pun.

Disamping itu pujian bisa membuat orang riya’, takjub diri dan lupa diri. Inilah yang mengancam eksistensi jiwa kita. Apalagi jika anda melihat hati anda sendiri, betapa amal-amal anda sangat buruk dan cacat. 

Lalu mana yang layak untuk dipuji? Sampai Rasulullah saw, menegaskan, “Orang beriman ketika dipuji, ia malah meragukan keimanan yang ada dalam hatinya.” Maknanya, ia malah mencaci kondisi ruhaninya sendiri yang tak pantas dengan pujian. Karena itu:
“Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang membiarkan rasa yakinnya diselaraskan menurut asumsi publik manusia.”

Kalau manusia berakal sehat ia lebih percaya pada penglihatan dirinya pada dirinya yang penuh dengan cacat dan dosa. Tapi kalau mengikuti asumsi banyak orang, yang hanya memandang lahiriyahnya belaka, seakan-akan diri kita ini shaleh,ahli amal yang bagus, ahli ibadah, padahal tak lebih dari suatu kebusukan belaka.

Disinilah Ibnnu Athaillah mengarahkan:
“Bila terucap pujian padamu dan anda tahu bahwa diri anda bukan layaknya dipuji, maka pujilah yang berhak layak Dipuji (Allah swt).”

Semua pujian apa pun bentuknya jika itu terucap pada anda, maka segeralah anda mengembalikan pujian itu pada Allah Ta’ala. Karena Dialah yang layak dipuji.
Dalam hal ini, Syeikh Zarugq membagi tiga kategori manusia dalam soal pujian:
Manusia yang merasa dirinya berhak dipuji dan dipuja, maka orang ini akan hancur.
Manusia yang merasa dirinya tak layak dipuji, namun ia tidak melihat kebajikan Allah Ta’ala padanya sehingga ia hanya sibuk mencela dirinya belaka. Kalangan ini lebih baik, karena ia selamat dari penyakit pujian.
Orang yang melihat dirinya seperti pengantin yang mendapat sambutan dengan pestanya. Namun sang pengantin malah menutupi dengan cadarnya ketika berhadapan dengan mereka, karena malu atas segala kekurangannya saat itu.
Disinilah Sayyidina Ali KW ketika mendengar pujian padanya, bermunajat: “Ya Allah jadikan diriku ini baik sebagaimana dugaan mereka padaku. Dan janganlah Engkau siksa kami karena apa yang mereka katakana kepadaku. Ampunilah kami atas ketidaktahuan mereka pada diriku.”
Di luar tiga kelompok di atas adalah kalangan ahli hakikat, dimana mereka tidak peduli dengan penerimaan maupun penolakan public, karena konsentrasinya hanya pada Allah swt, semata.

Memandang Yang Tersembunyi


“Allah Ta’ala menampakkan pada segalanya, karena Dia adalah Maha Batin. Dan Dia meliputi segalanya, karena Dia adalah Maha Dzohir (Maha Nyata Jelas).”
Tidak bisa wushul (sampai) mengenalNya kecuali melalui yang tampak dariNya, karena yang tampak itu menunjukkan atas DiriNya. Namun segala sesuatu menjadi sirna jika Dia Tampak, karena WujudNya mengapus segalanya dan ketidak bebasan atas AdaNya.

Maka, hikmah dibalik tampaknya sang makhluk, adalah wujud pengenalan ma’rifat padaNya, selain meraih kema’rifatan karena sirnanya sang makhluk. Maka Maha Sucilah Yang Maha Tampak dan Maha Batin nan Maha Mengetahui.
Karena itu beliau melanjutkan:
“Allah memperkenankan dirimu untuk memandang segala yang tersembunyi dibalik semesta makhluk. Dan Allah swt tidak mengizinkan anda untuk memandang atau berhenti pada wujud dzatnya makhluk. Dalam Al-Qur’an dikatakan, “Katakan, Lihatlah apa yang tersembunyi dibalik langit….,(Yunus 101) “

dan Allah swt tidak berfirman, “Lihatlah langit…!”. Maka Allah swt, akan membuka pintu kefahaman padamu. Allah tidak berfirman, “Lihatlah langit!” agar anda tidak terjebak pada wujud benda-benda.”

Ibnu Athaillah menggunakan kata “memperkenankan”, untuk menunjukkan bahwa memandang dan mencari bukti petunjuk dibalik langit itu tidak wajib hukumnya.

Karena itu ada seorang Syeikh diberi informasi oleh muridnya, bahwa “Ada orang yang mendapatkan bukti akan Ke-esaan Allah swt dengan seribu dalil.” Maka Syeikh itu menjawab, “Hai anakku, jika ia mengenal Allah swt, sama sekali ia tidak akan mencari bukti.”

Kata-kata syeikh itu akhirnya sampai pada sang cendekiawan yang punya seribu dalil, lalu berkata, “Benar gurumu! Karena mereka menyaksikan dengan nyata, sedangkan kami menyaksikan dibalik tirai.”

Ada seorang murid bertanya kepada gurunya, “Hai Ustadz, dimanakah Allah?”
Sang guru menjawab, “Hai! Kamu bisa dihanguskan Allah! Apakah kamu ini mencariNya dengan mata-kepala atas “dimana”?”

Orang yang menikmati keindahan semesta, menurut para sufi dilarang. Yang diperkenankan adalah memandang yang tersembunyi dibalik semesta langit dan bumi. Karena jika memandang isi langit dan bumi, seseorang bisa terjebak pada wujud bendanya, bukan yang ada dibalik benda.

Lalu apa yang ada dibalik benda-benda semesta ini? Yang ada hanyalah Asma’, Af’al dan SifatNya. Sehingga seseorang akan terus menerus musyahadah dan mengingatNya (berdzikir).
(Syeikh  Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)

Tanda-tanda Kaum Sufi


Riwayat dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw, bersabda:
“Siapa yang bersedekah sekantong dari hasil pekerjaan yang halal – dan Allah tidak menerima kecuali yang halal – maka sesungguhnya Allah menerimanya melalui Tangan KananNya, kemudian Allah merawatnya untuk pemilik sedekah itu, sebagaimana diantara kalian merawat anak kudanya, hingga sedekah itu sebesar gunung.” Hadits yang mulia ini merupakan motivasi untuk menyerahkan harta demi kebaikan, dan mengingatkan agar tetap dalam disiplin keikhlasan. Dan Allah memberi kabar gembira setelah keikhlasan itu, adalah pelipat gandaan pahala dan diterimanya sedekah itu sendiri. 
Semua itu terliput dalam keikhlasan yang merupakan cahaya bagi kaum ‘arifin. Sebab amal apapun tanpa keikhlasan adalah kegelapan, maka dengan ikhlasan itulah amal menjadi terang benderang, sehingga hasrat kaum ‘arifin untuk terus membumbung 
kearah ikhlas.

“Ingatlah hanya bagi Allahlah beragama yang ikhlas.”

Hanya saja bagi kaum Sufi yang masuk dalam hakikat, benar-benar telah bersih rahasia batinnya, dan hasrat mereka benar-benar indah, karena hasratnya adalah Tuhan mereka, dan akhlaqnya adalah sunnah Nabi mereka Sayyidina Muhammad Saw, berbeda jauh dibanding mereka yang suka mengklaim sok sunnah dan merasa mampu beramal. Anak-anak sekalian…Jika anda melihat kaum Sufi yang – sebagian mengalami tragedi karena terjebak dalam zindiq, leberalitas dan kebid’ahan. Sementara mayoritas publik justru bodoh dan tolol, lebih banyak rekayasa dan pengkhianatan, lebih banyak mengagumi diri sendiri. Pada saat yang sama mereka ini malah bersangka buruk kepada ahli zuhud dan ahli taqwa, pemegang kebenaran dan kaum suci yang Sufi. Tanda kaum yang bersih jiwanya (kaum Sufi) sangat lembut sekali lebih dari sekadar analisa, bahkan sulit jika hanya diduga lewat asumsi-asumsi belaka.

Tanda Sufi yang suci
Tanda-tanda Sufi yang bersih adalah manakala mereka bersih dalam hal bicara, tindakan, geraknya dari berbagai kotoran negatif nafsu, makhluki dan dunia.
Intuisinya bersih dari debu keberpalingan dari Allah Ta’ala dan kotoran memandang kepada selain Dia Azza wa-Jalla.
Tanda-tanda yang lain adalah:
• Ia bersama dirinya tanpa dirinya, 
• Bersama makhluk tanpa makhluk, 
• Bersama hatinya tanpa hati, 
• Bersama kondisi batin tanpa batin, dan 
• Beserta waktu tanpa waktu.
Ia terus teguh berpijak di hamparan perintah Allah Ta’ala, merasa hina di bawah Kebesaran Keagungan Allah Ta’ala, merasa cukup bersamaNya dibanding lainNya. Qalbunya terpukul oleh cambuk rasa takut jika terputus dari Allah Ta’ala dan terlempar dariNya.
Rahasia batinnya terpukul oleh cambuk rasa takut jika terjauhkan dan terhalang dariNya. Jiwanya tercerahi oleh cahaya bakti kepadaNya, dan qalbunya tersinari dengan cahaya cintaNya. Rahasia batinnya tercahayai oleh sinar ma’rifat.

Tanda-tandanya pula:
  • Hatinya terbang dengan sayap-sayap rindu
  • Pilar-pilarnya tegak di atas Jalan Allah Ta’ala, bersama Allah Ta’ala, bagi Allah Ta’ala, dengan penuh penantian yang elok dan telungkup di remuk redam jiwanya.
  • Menghadap kepada Sang Diraja tanpa sedikit pun berpaling dariNya karena melihat kerajaanNya, disamping lari dari makhluk, karena dendam rindu dan manisnya asmara bersama Robbul ‘alamin.
  • Kembali kepada Allah Ta’ala, berpegang teguh padaNya, menetap bersamaNya, tanpa berpaling kepada makhlukNya.
  • Hampir-hampir qalbunya bicara serba langit, pengetahuannya selalu Robbaniyah, hasratnya hanyalah Tunggal, ruhnya hidup, takdirnya penuh cahaya dan makna-makna rahasia hanya kembali pada Ke-EsaanNya.
  • Seluruh hasrat kehendaknya adalah kehendak yang dikehendaki Allah Ta’ala, penuh syukur baik secara lahir maupun batin agar tidak terjerumus dalam samudera kekafiran. Hati dan lisannya terus berdzikir kapan dan dimana pun berada, agar tidak terlelapkan kealpaan.
  • Ia pun tahu bahwa Tuhannya Melihatnya, dan dari tingkat yang luhur Dia melindunginya. Dan sungguh, di bawah kebesaran pandanganNya terhanguskan oleh keparipurnaan KuasaNya, tenggelam dalam kebeningan waktuNya di lautan anugerahNya, dengan gugurnya segala kemanisan, kecuali kemanisan bersama Cinta Tuhannya.
  • Ia istiqomah dalam ‘ubudiyah tanpa sama sekali melihat ‘ubudiyahnya. Hatinya kosong dari aktivitas selain Allah, disertai kepasrahan hatinya kepada Allah Ta’ala.
  • Ia sangat tawadlu kepada mu’min sejati, senantiasa terhampar dalam karpet kesusahan, hingga kegelisahan itu sirna ketika al-Yaqin (kematian) tiba dengan ampunan dan ridhoNya.
  • Ucapannya adalah ungkapan qalbunya, yang membenarkan ucapan dan tindakannya, bukan seperti apa yang difirmankan olehNya, “Kenapa kamu sekalian bicara hal-hal yang tidak pernah anda lakukan…”
  • Ia bersyukur atas nikmat yang tampak sedikit, sabar atas banyak cobaan, rela atas ketentuan Allah Ta’ala, langgeng dalam menjaga hati bagi Allah Ta’ala dengan argument kebenaran.
  • Tak pernah  takut pada selain Allah, tidak pernah berharap  selain Allah, dan tidak berhasrat kecuali pada Allah, karena ia tahu tak ada yang membahayakan dan memberi manfaat, tak ada yang menghilangkan dan mempertahankan, tak ada yang memuliakan dan menghinakan, kecuali hanya Allah semata, tiada kawan bagiNya.
• Ia terus khawatir dengan akibat buruk di akhir  hayatnya. Namun ia terus sibuk dengan Sang Pencipta takdir, sementara manusia sibuk dengan takdir itu sendiri. Ia sibuk dengan Sang Pengatur, sementara publik lebih sibuk dengan aturan.
• Ia duduk di hamparan bakti disertai rasa malu, bersandar pada  karpet sutra kefakiran dan rasa butuh. Ia termuliakan dengan kamar taqarrub dan musyahadah. Meminum dengan gelas cinta dan kemesraan. Begitu panjang membisu, begitu kuat menahan diri, begitu kokoh melawan nafsu, begitu semangat untuk berpisah dengan kesantaian, tanpa sama sekali berpaling pada kinerja qalbunya.
• Ia merasa terus kosong atas kemashlahatan dirinya. Ia tinggalkan santai dan senang-senang. Dan paling ditakuti adalah kegentaran yang timbul antara dirinya dan Kekasihnya.
• Ia menjadi manusia terbaik, dan bagi manusia sekalian, bahkan paling taqwa. Paling jujur, paling bersih, paling cerdas, paling hati-hati. 
• Ketika memandang dunia ia memandang dengan mata penuh pelajaran. Dan memandang nafsu dengan mata penuh kehinaan. 
Dan memandang akhirat dengan mata kegembiraan. Memandang Robb dengan mata penuh kebanggaan.
• Dalam istiqomahnya bagaikan bukit yang gagah, tak tergoyangkan badai, dan tidak ingan mencari yang lain, tidak pernah curiga atas bagian yang berikan. 
• Dirinya kosong dari upaya mengabdi kepada makhluk, merdeka dengan khidmah kepada Robbul ‘alamin, sama sekali tidak kontra terhadap bencana dariNya, dan tidak memilih selain Dia.
• Jiwanya suci dari segala kesalahan dan dosa. Hatinya bebas dari segala kealpaan dan lalai. Rahasia batinnya tidak rela pada segala hal selain Dia Azza wa-Jalla Subhanahu wa-Ta’ala.
• Makanannya adalah makanan orang sakit. Tangisnya adalah tangisan sangat dukalara. Hatinya tidak pernah berserah kecuali kepadaNya, tidak pernah memasrahkan kecuali padaNya, tidak bersyukur kecuali padaNya dan tidak meraih kebutuhan 
kecuali dariNya.
• Ia bermesraan bersama Allah Ta’ala dalam segala situasi kondisi jiwanya, dan memutuskan hanya kepada Allah Ta’ala 
dalam segala amalnya.
• Dzikrullah adalah ucapannya dalam semua ucapan, ia biarkan pilihan hanya kepada Yang Maha Agung.
• Tidurnya sedikit, dukanya panjang, badannya kurus, bahagianya adalah Sang Maha Diraja Nan Mulia. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...